Jakarta – Anggota DPR sekaligus Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid, mengingatkan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai satu-satunya Lembaga Negara yang membawa sebutan ‘Konstitusi’ dan keanggotaannya dipersyaratkan kenegarawanan, agar konsisten dengan putusan sebelumnya, dan menjadi teladan dalam konsistensi menegakkan konstitusi.
Karenanya, imbuh Hidayat, apa keputusan MK tidak mencederai kedaulatan yang oleh UUD diberikan kepada rakyat sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 dengan memutus mengubah sistem pemilu dari Terbuka menjadi Tertutup.
“MK hendaknya tetap konsisten dengan keputusannya sendiri yang diputuskan pada tahun 2008 yang justru mengubah sistem pemilu dari tertutup menjadi proporsional terbuka,” hal ini disampaikan Hidayat Nur Wahid saat menerima aspirasi dari belasan Ustadzah pimpinan dari Forum Silaturahim Majelis Taklim (Forsitma) Pesanggrahan Jakarta Selatan, yang antara lain menginginkan sistem pemilu tetap secara terbuka.
Pertemuan diselenggarakan di Gedung MPR RI, Jakarta, Selasa (13/07). MK sendiri telah menjadwalkan akan membacakan putusan uji materi UU Pemilu berkaitan dengan sistem pemilu pada Kamis, 15 Juni 2023.
HNW sapaan akrabnya menegaskan bahwa pentingnya Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 sebagai acuan dalam menentukan Pemilu dengan sistem terbuka sejatinya merupakan argumen dasar MK, saat membuat keputusan pada 2008 lalu. Ketika itu, MK ‘mengarahkan’ perubahan dari sistem tertutup ke sistem proporsional terbuka atas nama kedaulatan rakyat sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945.
“Jadi, akan menjadi sangat tidak rasional dan tidak konsisten, apabila dalam perkara yang sekarang MK justru memutus sebaliknya, tanpa adanya pelanggaran Konstitusi yang terjadi akibat diberlakukannya sistem terbuka,” ujarnya di Jakarta.
“Apalagi sesuai dengan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI dinyatakan bahwa putusan MK tersebut – termasuk putusan pada 2008 itu – final dan mengikat, sehingga diberlakukan secara konstitusional pada Pemilu 2009, 2014 dan 2019,” tambahnya.
HNW menambahkan, kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 juga lebih sesuai pemberlakuannya dengan sistem pemilu terbuka bukan dengan sistem tertutup, sebagaimana dengan tegas disebutkan dalam pasal lainnya dalam UUD NRI 1945, yakni Pasal 22E ayat (2).
Ketentuan ini berbunyi, ‘Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.’
“Jadi, Pasal 22E ayat (2) UUD NRI 1945 itu sudah sangat tegas bahwa yang dipilih oleh Rakyat pemilik kedaulatan adalah kandidat atau calon Anggota DPR, DPRD dan lain-lain, bukan mencoblos tanda gambar partai saja sebagaimana berlaku pada masa orde baru,” ujarnya.
Selain itu, HNW mengatakan MK seharusnya juga mendengarkan suara mayoritas masyarakat Indonesia – baik masyarakat umum maupun para tokoh, termasuk delegasi Forsitma yang tadi secara langsung sampaikan aspirasi menolak sistem tertutup dan mendukung sistem terbuka– yang menginginkan pemilu dilaksanakan tetap dengan sistem proporsional terbuka.
“Bahkan, puluhan tokoh nasional juga telah mengirimkan pendapat sebagai amicus curiae (sahabat pengadilan) ke MK, agar MK konsisten dalam keputusannya yang Konstitusional bahwa pemilu tetap dengan sistem proporsional terbuka. Ini juga harus dipertimbangkan oleh MK dalam putusannya nanti,” tukasnya.
HNW mengatakan sikap mayoritas Rakyat Indonesia, yang memilih Pemilu tetap dengan sistem terbuka ini juga tertuang dalam berbagai survei sejak Januari, Februari, Mei 2023 lalu yang menyatakan bahwa 71% – 76% Rakyat Indonesia (termasuk pemilih PDIP, partai yang mendukung sistem tertutup) tetap menginginkan sistem proporsional terbuka.
“Bahkan DPR dan Pemerintah beserta KPU dan Bawaslu, sesuai sila ke 4 Pancasila, juga sudah bermusyawarah dan mufakat memutuskan bahwa Pemilu 2024 akan tetap menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka,” jelas Wakil Ketua Majelis Syura PKS itu.
Oleh karena itu, lanjutnya, putusan MK harusnya konsisten dengan ketentuan Konstitusi sehingga sesuai dengan sikap mayoritas Rakyat Pemilih, Parpol peserta Pemilu di DPR, serta prinsip musyawarah mufakat sebagaimana ketentuan sila ke 4 dari Pancasila, sebagai keteladanan berkonstitusi yang menguatkan pengamalan sila ke 4 dari Pancasila.
“Agar rakyat makin percaya dengan demokrasi dan konstitusi. Agar hasil Pemilu (Pileg dan Pilpres) benar-benar legitimate dan diterima rakyat dengan legowo karena ada keteladanan dalam konsistensi menjalankan konstitusi,” tegas HNW.
HNW mengaku sistem proporsional terbuka memang bukannya tanpa catatan, tapi koreksinya bukan dengan kembali setback kembali ke zaman Orba, melainkan tetap merujuk pada prinsip kedaulatan rakyat yang telah diberikan oleh UUD. Bila di suatu Dapil ternyata sebagian besar rakyat mencoblos tanda gambar Parpol, sehingga mengalahkan coblosan untuk nama calon anggota DPR, maka wajar secara demokrasi maupun prinsip Keadilan kalau Parpol sebagai pihak yang mendapat suara terbesar dari Rakyat, untuk menentukan siapa wakilnya di DPR.
“Ini masih rasional, karena memang kondisi itu terjadi, sekalipun hanya di beberapa Dapil. Tapi perbaikan terhadap sistem proporsional terbuka itu tidak dengan mengubah prinsip dan kaidah umum sistem Proporsional Terbuka dengan kembali ke sistem proporsional tertutup sebagaimana berlaku di era Orba,” pungkasnya.